Mengapa Para Aktifis Gerakan Islam Harus Menjauhi Dari Sikap Ekstrem Dalam Beragama?

Tanda-Tanda Ekstremitas dalam Beragama
1. Ta’ashub (fanatisme buta) pada satu pendapat dan menyalahkan pendapat yang berbeda dengannya walaupun pendapat yang lain itu terdapat dalil yang kuat. Hal ini misalnya dengan menuduh fasik dan durhaka kepada orang yang berbeda pendapat dengannya. Yang sangat mengherankan adalah di antara mereka hanya menerima ijtihad bagi dirinya dan kelompoknya dalam masalah-masalah yang sangat pelik dan rumit istinbath hukumnya, tetapi menolak ijtihad para ulama spesialis baik perorangan maupun kelompok untuk berijtihad berbeda dengan pendpt mereka tersebut. Seolah-olah mereka berkata pada anda: “Hakku untuk berbicara dan berpendapat dan kewajibanmu hanyalah mendengarkan dan taat. Pendapatku benar dan tidak pernah salah sementara pendapatmu salah dan tidak pernah benar.” Yang lebih berbahaya lagi jika sikap ini diikuti dengan membawa tongkat pemukul, yang bukan terbuat dari besi atau kayu melainkan berupa tuduhan seperti bid’ah, kufur, sesat, dan sebagainya. Kita berlindung kepada ALLAH SWT dari yang demikian…
2. Mewajibkan kepada manusia sesuatu yang tidak diwajibkan ALLAH SWT atas mereka. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk mewajibkan untuk dirinya tentang suatu pendapat sepanjang berdasarkan dalil, tetapi syariat tidak dapat menerima jika ia lalu mewajibkannya juga kepada orang lain, karena kemampuan dan keinginan ummat berbeda-beda, bukankah ALLAH SWT berfirman tentang sifat Nabi SAW: “…menghalalkan segala yang baik bagi mereka mengharamkan segala yang buruk, serta membuang beban-beban berat dan melepaskan belenggu yang ada pada diri mereka.” (QS al-A’raaf: 157) Termasuk dalam hal ini adalah juga mengkafirkan hanya karena mereka berbeda dalam hal-hal yang masih diperselisihkan dan memungkinkan terjadinya perbedaan dalam penafsiran dan istinbath hukumnya.
3. Selalu memperberat saat ada kesempatan untuk memilih. Seperti memperlakukan negara bukan Islam sebagai negara Islam, atau memperlakukan aturan Islam secara ketat bagi semua kaum muslimin tanpa melihat tingkat keimanan dan pengetahuan mereka tentang Islam. Hendaknya pendekatan fiqh dakwah digunakan saat mensikapi dan menyampaikan dakwah, yaitu memusatkan pada hal-hal yang ‘ushul’ (pokok, dasar) dalam agama, dan pendekatan fiqh dakwah ini merupakan ketetapan sunnah Nabi SAW, sebagaimana pesan Nabi SAW saat mengutus Mu’adz untuk berdakwah ke Yaman (HR Bukhari Muslim). Seperti sikap bersikeras melarang duduk di atas kursi dengan alasan hal tersebut bukan sunnah Nabi SAW, melarang wanita berbicara dalam diskusi karena takut terkena fitnah, melarang menggunakan celana karena merupakan cara orang Barat, mewajibkan memakai gamis, dan sebagainya.
4. Mudah memvonis dan mengkafirkan. Padahal ALLAH SWT menyebutkan dalam al-Qur’an: “Serulah manusia kepada jalan RABB-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS an-Nahl: 125). Dalam ayat yang lain disebutkan: “Maka karena rahmat ALLAH kepadamu maka kamu bersikap lemah-lembut kepada mereka, dan jika sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar maka mereka akan lari dari sekelilingmu.” (QS ali-Imran: 153). Bahkan kepada Fir’aun saja untuk dakwah pertamanya ALLAH SWT memerintahkan Musa as untuk bersikap lembut: “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun sesungguhnya ia telah durhaka. Bicaralah kamu berdua kepadanya dengan lembut, mudah-mudahan ia menjadi ingat dan takut” (QS Thaha: 43-44). Barulah setelah Fir’aun menolak dan mengabaikan dakwah, maka Musa as mendoakan kecelakaan untuknya.
5. Buruk sangka (su’uzhan) kepada para Ulama Islam. Yaitu memandang mereka selalu dengan kacamata hitam, selalu menyembunyikan kebenaran dan kebaikan mereka dan membesar-besarkan keburukan dan kesalahan mereka. Mereka menganggap kesalahan kecil dalam masalah ijtihad sekalipun sebagai sebuah dosa besar dan menabuh genderang perang terhadap pelakunya. Jika ada sebuah fatwa yang mengandung 2 kemungkinan yaitu kebaikan dan keburukan, maka mereka serta-merta mengambil sisi buruknya, hal ini sangat berbeda dengan sikap salafus-shalih yang selalu berkata: “Sungguh aku selalu mencarikan alasan pembenaran bagi pendapat saudaraku sampai 70 kali, setelah itu akupun masih berkata: Mungkin masih ada alasan lain yang belum kuketahui..” Nabi SAW bersabda: “Jika kalian mendengar seorang menyatakan: Manusia lainnya telah celaka, maka orang itulah yang paling celakan diantara mereka.” (HR Muslim)
6. Bahaya pengkafiran. Akumulasi dari ekstremitas mencapai puncaknya jika seorang sudah bermain dengan label pengkafiran. Sikap inilah yang telah membinasakan kaum Khawarij, sekalipun mereka adalah kaum paling hebat dalam pelaksanaan berbagai ibadah dalam sejarah Islam, tetapi mereka celaka karena telah terjerumus kepada jurang pengkafiran kepada ummat Islam yang lain bahkan pada para ulama ummat seperti khalifah Ali ra. Kelompok ini karena kerendahan ilmunya tidak mengetahui bagaimana kemarahan Rasul SAW yang luar biasa terhadap anak dari anak angkatnya yang paling disayanginya yaitu Usamah bin Zaid ra, ketika mendengar Usamah membunuh seorang kafir yang telah mengucapkan syahadah saat terdesak dalam peperangan. Walaupun Usamah ra telah memberikan argumentasi: “Wahai RasuluLLAH ia hanya mengucapkan itu karena takut dengan pedang.” Maka jawab Nabi SAW: “Mengapa tidak engkau belah dadanya (jika bisa mengetahui isi hatinya)?” Maka jawab Usamah ra: “Ya RasuluLLAH, mohonkan ampun bagi saya.” Maka jawab Nabi SAW: “Apakah yang akan engkau perbuat jika nanti di hari Kiamat berhadapan dengan La ilaha illaLLAH??” Selanjutnya kata Usamah ra: “Tidak henti-hentinya Nabi SAW mengulang-ulang pertanyaannya itu, sampai aku menginginkan alangkah inginnya jika saat itu aku baru masuk Islam karena takutnya.”

http://matericeramahdankultum.blogspot.com/2012/08/mengapa-para-aktifis-gerakan-islam_26.html

Comments