Di kantor, hari ini kondisinya
sangat berat. Bak disambar petir di siang bolong. Dia dihardik, dicerca,
dihina. Tak ubahnya seperti anjing kurapan saja. Kosim hanya bisa mengangguk
dan mengiya. Bukan soal benar dan salah, bukan soal hitam dan putih. Kata
kuncinya hanya satu, kekuasaan. Kekuasaanlah yang membuat orang buta.
Menempatkan pemiliknya pada posisi hina dina. Menumpulkan pikiran, karena biasa
dijilat dan disanjung. Tidak pernah mengenal kata penolakan.
“Bagaimana kau bisa terlambat,
Sim? Sudah bosan kerja ya?” hardik managernya.
“Maaf, Pak.”
“Emang bisa dibayar dengan maaf
tender kita yang gagal?”
“Tadi saya...”
“Ah, aku tidak butuh alasan. Kau tahu,
berapa pengangguran yang bersedia menggantikan posisimu? Sedangkan kau bekerja
seenaknya?”
“Iya, Pak.”
“Tahu tidak, proposal yang kau
bawa itu sangat berharga nilainya? Gaji seumur hidupmupun tidak sanggup
melebihi nilainya. Bukankah sudah kuwanti- wanti untuk tepat waktu?”
Itulah sedikit ilustrasi
pembicaraan yang ada. Dalam pikiran Kosim, dia coba mencerna. Apa kesalahan
fatalnya? Apakah tiada pintu maaf yang terbuka baginya dari manager? Apakah salah
jika dia harus menyelamatkan seorang anak kecil di depan kantornya, yang akan
menyeberang dan tertabrak mobil? Apakah harus menunggu dia mati baru mayatnya
diantar ke rumah sakit? Sampai seorang sopir atau orang yang tidak punya
pekerjaan yang longgar waktunya membantu anak tersebut? Apakah nurani bisa
dibeli seharga proyek 200 juta? Hatinya bergejolak, pikirannya berkecamuk. Tidak
dapat menemukan jawaban atas semua pertanyaannya. Ya, dia ingat berita tentang
seorang satpam yang dipecat karena sholat jum’at sedangkan penjaga di kantornya
hanya sedikit. Ya, itu kewajiban sholat. Apalagi hanya menolong orang susah. Orang
yang bukan siapa- siapanya. Orang yang tidak dikenalnya. Apakah haram hukumnya?
Lamunan menyeretnya untuk kembali
ke rumah. Lamunan saja yang membantunya melewati hari itu. Lamunanlah yang
membantunya membunuh waktu. Bahkan, hanya lamunanlah yang peduli padanya di
kantor. Kantor yang banyak pertikaiannya. Sejawatnya hanyalah musuh dalam
selimut. Takut meskipun sekedar memberi simpati, khawatir ikut kena getahnya. Khawatir
dianggap menjadi kroninya. Mereka adalah musuh yang akan menggulungnya saat dia
terlena. Yah, inilah hari itu. Neraka baginya, surga bagi teman- temannya. Tinggal
menunggu esok hari untuk menjegal kedudukannya. Kedudukan penting sebagai
tangan kanan manager. Yang dilakoninya dengan sempurna, sebelum hari ini. Yang dilakoninya
5 tahun lamanya.
Dia menyibak ramainya jalanan ibu
kota dengan motor tuanya. Menyusuri jalan yang sama setiap harinya. Keramaian yang
sama, kemacetan yang sama, dan bunyi pekikan klakson yang sama pula. Dua jam
kemudian sampailah di rumahnya. Sudah menunggu istri dan anak tercinta. Sungguh
terasa istilah rumahku adalah surgaku kali ini. Dengan almanak waktu yang
sangat lama, dengan segala kejenuhan yang ada, dia menjadi lebih mensyukurinya.
Di atas meja tamu, nampak secarik
kertas bertuliskan Yummy.co.id dan Yummy App beserta penjelasannya. Ada apakah
gerangan, pikirnya?
Di atas meja makan telah tersaji
rendang sapi kesukannya. Anak dan istrinya sudah mengitari meja tersebut. Sengaja
memberinya kejutan. Kosimpun menangis sejadinya, seperti bayi yang seminggu tak diberi ASI. Bak balita direbut mainannya secara paksa oleh
temannya. Keluarga, yang terkadang dia abaikan, pun terkadang dihardiknya pula.
Air mata mengalir deras di pipinya.
“Kenapa, Yah?” tanya istrinya.
“Bahagia, memiliki kalian,”
jawabnya.
“Ah Ayah lebay,” celetuk anaknya.
Mereka bertigapun saling
berpelukan dan larut dalam rasa kebersamaan dan kebahagiaan.
“Wah, kok enak sekali rendangnya?”
kata Kosim.
“Iya, Ibu masak sendiri.
Alhamdulillah kalau ayah suka.”
“Oh, ini yang resep di atas meja ya?”
“Iya,” istrinya menangguk. Ya,
makanan lezat kali ini menambah kebahagiannya. Belum pernah merasakan masakan
seenak ini. Tiba- tiba ketiganya dikagetkan dengan dering telepon. Dengan terburu-
buru, Kosim berlari. Maklum, dia jarang menerima telepon jam segini. Pasti ada
urusan penting, pikirnya.
“Hallo,” sapa Kosim.
“Hallo Pak Kosim, ini Pak Budi,”
managernya menjawab.
“Ada apa Pak Budi?” Kosim mencoba
bertanya, sambil dadanya dag dig dug tidak karuan. Apakah besok dia tinggal
mengambil surat pemecatan? Dia coba menguatkan hati dan mentalnya. Bersedia dengan
hal buruk apapun yang akan diterimanya.
“Alhamdulillah, Pak. Tadi yang
Bapak tolong adalah anaknya rekan bisnis kita yang mau tender tadi. Berkat bantuan
Bapak, anaknya selamat. Katanya, tadi anaknya diajak ke mall seberang kantor
kita bersama ibunya. Ternyata anaknya ingin menyusul bapaknya dan berusaha
menyeberang jalan. Kemudian terjadilah kecelakaan itu. “
“Syukurlah, Pak. Alhamdulillah.”
“Iya, tender kita deal jadinya,
bahkan kita ditawari proyek baru lagi.”
Pembicaraanpun berlanjut ke hal
remeh- temeh lainnya. Ternyata, kebaikan itu memang dibalas kebaikan pula. Tidak
hanya di dunia. Juga ada balasan surga di akhirat nantinya.
===FINISH===
Jangan lupa, cerita menarik lain. Baca di: https://www.kwikku.com/novel/read/bocah-angin/23421
Comments