PENDAHULUAN
Al-Ghazali menaruh perhatian yang cukup dalam
mengenai jiwa. Menurutnya pengetahuan tentang jiwa adalah jalan untuk mengenal
Allah (marifatullah). Al-Ghazali menyebutnya dalam pengantar buku Ma’arif
al-Quds Fi Madarij Marifat an-Nafs “jejak-jejak dimana dapat terlihat
keagungan Sang Pemilik Kebenaran dan kesempurnaan sifat adalah makrifat jiwa (ma’rifat
an-nafs).
Dari paparan al-Ghazali, dapat dilihat betapa
besarnya peran jiwa. Pembahasan tentang hal itu sangatalah luas. Begitu pula
filosof yang menaruh perhatian pada pembahasan jiwa tidaklah sedikit, Karena
itu pemakalah membatasinya hanya pada bebreapa hal saja, seperti definisi,
argumen dan pembagian fakultas-fakultas jiwa. Dalam pembahasan tentang jiwa pun
pemakalah banyak mengambil pandangan dari imam al-Ghazali.
Berdasarakan pembatasan masalah diatas, maka
perumusan masalahnya adalah :
1.
Apa yang dimaksud dengan hakikat manusia?
2.
Apa saja argumentasi jiwa sebagai hakikat manusia?
3.
Bagaimana pembagian fakultas-fakultas jiwa?
4.
Bagaimana penjelsan tentang fakultas tentang sumber kebaikan dan
keburukan manusia?
Tujuan penulisan pra makalah ini yang pertama
adalah untuk memenuhi tugas matakuliah akhlaq. Selanjutnya untuk mengetahui
lebih dalam penjelasan tentang jiwa yang menjadi esensi bagi kita, sebagai
manusia beserta fakultas-fakultas jiwanya. Terakhir kamipun berharap pra
makalah ini memberikan sedikit sumbangan pengetahuan, khususnya dalam pelajaran
akhaq.
BAB I
HAKIKAT
MANUSIA
1.
Definisi Hakikat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hakikat
didefinisikan sebagai intisari atau dasar, intisari yang sebenarnya
(sesungguhnya). Dalam Kamus Bahasa Arab hakikat adalah kebenaran, kenyataan,
keaslian, dan juga esensi.
Hakikat mengandung makna
sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Ia adalah identitas esensial yang
menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dengan yang lain.[1] Dengan
definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa hakikat merupakan inti yang ada
pada sesuatu yang tanpanya tidak mungkin kita sebut suatu itu.
1.
Definisi Hakikat Manusia
Dalam buku filsafatnya al-Ghazali menyatakan
bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah,
yaitu an-Nafs (jiwanya). Yang dimaksud dengan an-Nafs adalah substansi
yang berdiri sendiri, tidak bertempat, dan merupakan tempat-tempat pengetahuan
intelektual (al-Ma’qulat) berasal dari‘alam malakut atau ’alam al-Amr.
Ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisik.
Hal itu dikarenakan fisik adalah sesuatu yang
mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri,
keberadaanya tergantung kepada fisik. Alam al-Amr atau alam
malakut adalah realitas-realitas (al-Maujudat) di luar
jangkauan indera dan imajinasi, tanpa tempat, arah, dan ruang. Adapun lawannya ‘alam
khalq atau alam al-Mulk, yaitu dunia tubuh dan aksiden-aksidennya.
Dengan demikian esensi manusia adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri
dan merupakan subjek yang mengetahui.
1.
Argumentasi Jiwa Sebagai Hakikat Manusia
Al-Ghazali sepakat dengan
pendapat ibn Sina, al-Farabi, dan Aristoteles tentang tiga jiwa, yaitu jiwa
tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan, dan jiwa manusia. al-Ghazali mendefisiniskan jiwa
tumbuh-tumbuhan, hewan, maupun menusia sebagai kesempurnaan pertama bagi
fisik alamiah yang bersifat mekanistik. Jiwa tumbuhan ia membutuhkan
makan, tumbuh dan berkembang biak; jiwa hewan mempersepsi hal-hal yang
bersifat parsial dan bergerak dengan hasrat; dan jiwa manusia sebagai jiwa yang
melakukan berbagai aksi berdasarkan ikhtiar akal dan menyimpulkanm dengan ide,
serta mempersepsi berbagai hal yang bersifiatkulliyat.[2]
Ada beberapa argumen yang dikemukan imam
al-Ghazali berkaitan dengan an-nafs:
·
An-Nafs bersifat immateri. Persolan kenabian, ganjaran perbuatan
manusia, dan seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya jika tidak ada
nafs. Karena seluruh ajaran-ajaran agama hanya ditujukan kepada yang ada (mawjud)
yang dapat memahaminya. Yang memiliki kemampuan memahami bukanlah fisik
manusia, sebab apabila fisik manusia memiliki kemampuan memahami, objek-objek
fisik lainnya seharusnya juga memliki kemampuan memahami
·
Pembuktian dengan kenyataan faktual dan kesadaran langsung.
Melalui pembuktian dengan keyataan faktual, ia memperlihatkan bahwa diantara
mahluk-mahluk hidup terdapat perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan
masing-masing. Dalam hal ini al-Ghazali tidak jauh berbeda pandangannya degan
ibn Sina. ada jiwa vegetatif (an-Nafs nabatiyah), jiwa sensitif (an-Nafs
hayawaniyah) dan an-Nasf insaniyah. Manusia memiliki nafsul
insaniyah yang membedakan ia dengan mahluk lainnya. Argumen kesadaran
langsung membuktikan kepada manusia bahwa baik yang disadari maupun yang sadar
bukanlah hal yang fisik maupun fungsi fisik, melainkan satu substansi
yang berbeda dengan fisik
·
An-nafs berasal dari alam malakut/ alam amr. Alam
malakut atau alam amr adalah realitas-realitas (al-maujudat) di luar jnagkauan
indera dan imajinasi, tanpa tempat, arah, dan ruang. Sebagai lawan dari alam
al-Khalq atau alam al-mulk yakni dunia tubuh dan aksiden-aksidennya.
·
Karena an-nafs adalah subjek yang mengetahui, maka
pengetahuan-pengetahuan intelektual (maqulat) terdapat di dalamnya.
Pengetahuan intelektual bersifat immateri dan tidak terbagi-bagi, begitupun
dengan an-Nafs yang menjadi tempatnya semestinya bersifat immateri dan tidak
terbagi-bagi
·
An-Nafs berdiri sendiri, ia tidak bertempat baik di dalam badan
maupun di luar badan.
Sesuatu yang memiliki
tempat biasanya ia memilki ruang, sedangkan yang mengambil ruang adalah materi.
Karena an-nafs bukan materi, maka ia tidak mengambil ruang dan tidak mempunyai
tempat. An-Nafs juga bukan form sebagaimana dalam konsep hylomorphisme yang
memandang an-Nafs sebagai bentuk (form) dari badan.[3] Pandangan
ini dapat membawa kesimpulan bahwa an-Nafs dapat berakhir hidupnya dengan
hancurnya badan.[4]
Al-Ghazali menolak pandangan yang
mengatakan an-Nafs dapat hancur, karena hancur an-Nafs akan meruntuhkan
pandangan tentang adanya hari akhir.
Meskipun an-Nafs tidak bertempat di badan,
namun ia memiliki hubungan erat dengan badan. An-Nafs lebih tepat disebut
dengan ada bersama badan (mawjudat ma’a al badan)
·
Menurut al-Ghaazali an-Nafs bersifat Qodim, namun qodim disini
adalah memiliki permulaan dan tiada akhir. Menurutnya an-Nafs diciptakan ketika
sel benih (an-nuthfah) telah memenuhi persyaratan untuk menerimanya. Namun
hubungan antara jiwa dan badan bukanlah hubungan sebab akibat, meskipun tekesan
jiwa tegantung pada kondisi nutfah. Al-Ghazali memandang jiwa lebih sempurna
dibanding badan, karena ia berasal dari dunia yang lebih tinggi
·
An-Nafs bersifat tunggal tidak tersusun dari bagian-bagian (basithah).
Sifat dasar basitah ini erat kaitannya dengan kekekalan jiwa. Karena yang
disebut hancur adalah terpisahnya bagian-bagian yang membentuk sesuatu
(dekomposisi). Disamping alasan-alasan di atas, jiwa tidak hancur karena
ia bukan komposisi
Dari argumen-argumen yang diajukan
al-Ghazali dalam membuktikan kekekalan jiwa, dapat disimpulkan bahwa
kekekalan adalah sifat substansialnya. Meskipun Tuhan berkehendak mneghancurkan
manusia, tapi ia tidak melakukannya. Oleh karena itu an-Nafs punya potensi untuk
hancur, namun ia tidak diaktualisasikan oleh Tuhan.
Al-Ghazali menulis bahwa jiwa manusia tidak
mungkin mempunyai potensi dan aktus dari dua sudut yang berlawanan, yakni aktus
kekekalan dan potensi kehancuran. Kelihatannya ia membuat dua kesimpulan yang
berbeda. Pertama, kemungkinan hancurnya jiwa apabila dikehendaki Tuhan lebih
menggambarkan pandangannya sebagai mutakallimin. Kedua, jiwa mempunyai sifat
substansial kekal menggambarkan pendangannya sebagai seorang filosof.
Dalam buku Tahafut al-Falasifah pun
al-Ghazali sebenarnya tidak menantang pandangan filosof yang mengatakan tentang
kekekalan jiwa, namun ia hanya menentang pandangan para filosof berkaitan
dengan dalil-dalil rasional yang digunakan para filosof untuk membuktikan
kekekalan jiwa. Yang al-Ghazali bantah hanya pengakuan mereka bahwa hal itu
dapat diketahui dengan akal saja. Sebab menurut al-Ghazali kekekalan itu
diperoleh melalui syara’ dengan konsepnya al-Ma’ad (kehidupan
kembali di akhirat) yang dapat dipahami apabila jiwa kekal.
Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa esensi manusia menurut al-Ghazali adalah substansi
immaterial yang berdiri sendiri, bersifat ilahi (berasal dari alam
al-amr), tidak bertempat di dalam badan, bersifat sederhana (basithah), mempunyai
kemampuan mengetahui dan mengerakkan badan, diciptakan (tidak qodim),
dan tidak bersifat qodim pada dirinya.[5]
Al-Ghazali tidak hanya mnegambil agumen
tersebut berdasarkan dari akal saja, melainkan dari al-Quran:
Dalil tentang kekelan jiwa:
“ jangan engkau sangka orang-orang yang
terbunuh pada jalan Allah itu mati, mereka itu hidup dan diberi rezeki di sisi
Tuhan mereka” (Ali Imran:169)
Dalil yang menunjukkan bahwa ia berasal dari
dunia yang sangat dekat dengan Tuhan, ‘alam al-Amr
“ katakanlah: jiwa itu dari amr Tuhanku”
(al-Isro 85)
Al-Ghazali juga
menggunakan term lain untuk esensi manusia. selain al-Nafs, ia juga menyebutnya al-Qolb,al-Ruh,
dan al-Aql. Ia menyebut keempat term tersebut dengan “al-Alfadz
al-Muatarodifat” (kata-kata yang mempunyai arti yang sama). Penggunaan
temr-term yang empat tersebut mungkin didasari keinginan mempertemukan
konsep-konsep filsafat, tasawuf, dan syara. Karena an-Nafs dan al-Aql sering
digunakan para filosof, sedangkan al-Ruh dan al-Qolb sering
digunakan para sufi. Di dalam al-Quran al-Ruh, an-Nafs, dan
al-Qolb dipergunakan untuk kesadaran manusia.Dalam kitab Ihya
Ululmuddin, al-Ghazali menyebut keempat term tersebut memiliki sisi persamaan
sebagai sesuatu yang halus. Hati memiliki pengertian sesutu yang halus (lathifah),
bercorak ketuhanan (rabbbaniyah) dan kerohanian (ruhaniah);
ruh adalah badan yang halus (jism lathif); nafs adalah sesuatu yang halus
(lathifah)[6].
Al- Aql adalah sesuautu yang halus yang merupakan hakikat menusia sama dengan al
qolb. Ini semua menunjukkkan bahwa keempat term itu digunakan untuk
menunjuk esensi manusia.
1.
Perbedaan Manusia dengan Mahluk lain
Pada definisi hakekat sebelumnya disebutkan
bahwa hekekat merupakan suatu pembeda dengan yang lain. Dengan adanya hakikat
maka dengan mudah kita membedakan suatu itu dengan yang lain. Oleh karena itu
disini perlu sedikit dibahas tentang beberapa hal yang menyebabkan manusia
berbeda dengan yang lainnya. Menurut Murtadha Muthahari yang membedakan manusia
dengan mahluk lainnya adalah pengetahuan dan agama. kedua hal tersebut
merupakan dasar dari ras manusia, dan ras manusia ini bergantung pada
pengetahuan dan agama.
Manusia adalah binatang yang rasional, mahluk
yang benar-benar berupaya mendapat apa yang dikehendakinya, mahluk yang tak ada
ujungnya, mahlulk yang idealis,dsb.
Ciri2 yang membedakan manusia dan hewan :[7]
Manusia
|
Binatang
|
|
keinginan
|
Manusia
juga punya keinginan.Berbekal pengetahuan dan pengertiannya, ia berupaya
mewujudkan keiginannya.Ia lebih tahu, lebih mengerti dan lebih tinggi tingkat
keingiannya dibanding binatang
|
Binatang
memiilki kemampuan melihat dan mengenal dirinya sendiri, dan dunia
sekitar.Sehingga ia berupaya mendapatkan apa yang ia inginkan
|
Mengetahui
dunia
|
Pengetahuan
manusia tidak terbatas ruang dan waktu.Manusia mengetahui sejarah.Manusia pun
mengetahui hal-hal yang universal, ia mencari tahu tentang hukum alam,
kebenaran umum yang berlaku di dunia.
|
Hanya
melalui indera manusia mengenal/ mengetahui dunia.jadi, pengetahuannya
dangkal, parsial, regional dan Terbatas pada masa, karena ia tidak mengenal
sejarah.
|
BAB II
FAKULTAS-FAKULTAS
JIWA
1.
Pembagian Fakultas Jiwa
Jika kita memperhatikan definisi manusia dalam
ilmu logika maka kita akan menemukan elemen-elemen atau bagian-bagian baik yang
umum maupun yang khusus yang ada pada manusia. Definisi had tam manusia
dalam ilmu logika menyebutkan bahwa manusia adalah jins namin khasasun
mutaharikun bi al-iradah natiq. Dari defenisi tersebut kita bisa menemukan
beberapa unsur nabati seperti tumbuh (namin) dan unsur hewani seperti
bergerak dengan kehendak bebas (mutaharikun bi al-iradah) yang ada pada
manusia. Unsur pembeda jika kita tengok dari sudut pandang ilmu logika antara
manusia dan yang lainya (hewan dan tumbuhan) adalah natiq yang
merupakan unsur insani. Berdasarkan hal ini, dalam kaitanya dengan pembahasan
fakultas jiwa pun manusia memiliki tiga fakultas yakni fakultas nabati,
fakultas hewani, dan fakultas insani.
Dalam definisi manusia diatas, kita hanya
mendapatkan beberapa bagian saja tentang penjelasan fakultas jiwa seperti
tumbuh yang merupakan daya dari fakultas nabati. Maka, secara mendetail
pembahasan tiga fakultas jiwa manusia itu terurai sebagai berikut;
Pertama, jiwa nabati yaitu fakultas yang
bereproduksi, tumbuh, dan makan. Kedua, fakultas hewani yaitu fakultas yang
bisa mempersepsi hal-hal partikular dan bergerak dengan kehendak sendiri atau
bebas. Ketiga, fakultas insani yaitu fakultas yang memunculkan
tindakan-tindakan yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan kesimpulan
pikiran dan yang mempersepsi hal-hal yang universal.
Jika kita melihat paragraf diatas, maka kita
akan melihat bahwa jiwa nabati itu mempunyai tiga daya; bereproduksi, tumbuh
dan makan.
Untuk jiwa hewani itu mempunyai dua daya yaitu
penggerak (muharrikah) dan persepsi (mudrikah).
Berkaitan dengan daya penggerak, ia terbagi dalam dua bagian:
1.
penggerak sebagai motif (pendorong kearah gerakan) yaitu daya
yang jika tergambar bentuk dalam imajinasi baik yang diinginkan atau pun yang
tidak diinginkan (dihindari) maka akan mendorong pada sebuah gerakan. Daya
penggerak motif ini juga dibagi dua; syahwat (al-quwwah
as-syahwaniyyah) yaitu daya yang memunculkan pada tindakan-tindakan yang
diinginkan atau dihasrat berdasarkan pada apa yang dibayangkan karena untuk
mencari kenikmatan dan amarah (al-quwwahal-ghadhabiyyah) yaitu daya yang
memunculkan tindakan-tindakan yang tidak dinginkan atau dihindari karena bahaya
atau merusak.
2.
daya penggerak sebagai subjek yaitu daya yang keluar didalam
otot-otot dan syaraf yang berfungsi untuk mengkontak otot-otot dan untuk
mendorong urat-urat dan ikat-ikat sendi yang terhubungkan dengan anggota badan
menuju posisi dimana fakultas ini mengatur jalanya.
Sedangkan yang berkaitan dengan daya persepsi
itu juga dibagi dua yaitu persepsi eksternal dan internal. Persepsi eksternal
itu ada lima; penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecapan.
Untuk persepsi internal itu juga terbagi lima. Pembagianya sebagai berikut:
1.
Phantasia yaitu term Yunani
yang artinya imaginasi. Fakultas ini menerima bentuk-bentuk yang dipersepsi
atau ditangkap oleh panca indera. Ibn Sina menyebut ini al-hiss
al-musytarak atau indera umum
2.
Khayal (imajinasi) atau mushawwirah (formatif)
yang berfungsi untuk menyimpan apa yang ditangkap oleh al-hiss
al-musytarak.
3.
Quwwah mutakhayyilah disebut
juga fakultas kogitatif bagi jiwa manusia yang berfungsi untuk menyusun atau
mengkombinasikan sebagian imajinasi dengan sebagian yang lain dan juga
memisahkannya dari yang lain.
4.
Estimatif (quwwah wahmiyyah) berfungsi untuk menangkap
makna-makna yang particular.
5.
Fakultas memori (quwwah dhakirah) yiatu yang berfungsi
menyimpan makna-makna yang telah ditangkap oleh quwwah wahmiyyah.
Fakultas insani itu terbagi dua yaitu fakultas
praktis dan fakultas teoritis masing-masing dari keduanya memiliki funsi yang
berbeda.
Fakultas praktis yaitu fakultas yang
menghasilkan tindakan-tindakan tertentu pada badan setelah berdasarkan dengan
pertimbangan dan pikiran. Akal praktis memiliki beberapa tiga fungsi. Pertama,
jika dinisbahkan dengan fakultas hewani (quwwah ghadabiyah dan quwwah
syahwatiyah), maka akan memunculkan kondisi emosional seperti malu, takut
dan sebagainya. Kedua, jika dinisbahkan dengan daya estiamsi maka akan
memunculkan daya pemahaman tentang benda yang rusak dan kemudian menciptakan
benda-benda yang beraneka ragam. Ketiga, jika dinisbahkan dengan akal teoritis,
maka akan lahir ide-ide seperti berdusta itu buruk, atau adil itu baik.
Fakultas inilah yang nantinya harus bisa
mengontrol fakultas-fakultas seperti fakultas hewani berkaitan dengan gerak dan
tindakan-tindakan. Seperti pada quwwah ghadabiyah dan quwwah
syahwatiyah jika dibiarkan mendominasi sehingga akal praktis menjadi
tunduk padanya, maka tindakan yang keluar pada manusia hanya akan berdasarkan
pada apa yang diinginkan dari kedua quwwah tersebut dan ini
akan menghasilkan apa yang disebut dengan akal tercela. Misalkan jika muncul
dalam diri gairah seksual yang tidak bisa dibendung dan mendominasi pada diri
kita, maka kita bisa melakukan hal-hal yang liar (negative) tanpa
pertimbangan dan peran akal kita, karena jika akal didominasi olehnya maka akan
menjadi pasif. Oleh karena itu, akal praktis tidak boleh didominasi oleh kedua quwwah tersebut
melainkan harus mendominasinya dan mengontrolnya dan bukan mematikanya agar
terjadi dengan apa yang disebut dengan kesempurnaan pada kedua quwwah tersebut.
Jika quwwah ghadabiyah dapat dikontrol dan dikendalikan, maka
akan tercipta keberanian. Dan jika quwwah syahwatiyah dapat
dikontrol dan dikendalikan maka akan muncul pengendalian diri atas
hasrat-hasrat dan keinginan kita.
Adapun fakultas teoritis adalah fakultas yang
menangkap dan mencerap makna-makna universal yang bukan materi dan particular,
seperti kosep universal manusia, hewan, dan sebagainya. Objek-objeknya berupa
intellejible (ma’qulat) yang merupakan universal. Dalam prosesnya akal
teoritis ini mendapatkan hal-hal universal, ia melakukan proses tajrid (melepas)
atau kita bisa sebut dengan abstraksi. Seperti kita mendapatkan makna universal
manusia ketika kita melihat zaid atau kita mendapatkan makna universal hewan
ketika melihat kuda dengan melepas katakateristik-karakteristik khusus yang ada
pada kuda atau zaid. Dengan melepas karakteristik khusus yang ada pada kuda
atau zaid maka kita akan mendapatkan makna universal manusia atau hewan.
KESIMPULAN
Hakikat manusia menurut al-Ghazali adalah
substansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat ilahi (berasal dari alam
al-amr), tidak bertempat di dalam badan, bersifat sederhana (basithah), mempunyai
kemampuan mengetahui dan mengerakkan badan, diciptakan (tidak qodim),
dan tidak bersifat qodim pada dirinya.
Tentu saja ada beberapa argumen yang mendasari
hakikat jiwa di atas, seperti argumen An-Nafs bersifat immateri. Persolan
kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat tidak
ada artinya jika tidak ada nafs; An-Nafs berdiri sendiri, ia tidak bertempat
baik di dalam badan maupun di luar badan, ia tidak bisa disamakan dengan teori hylomorphis yang
nantinya mengakibatkan ketidakkekalan jiwa; an-Nafs bersifat Qodim; An-Nafs
bersifat tunggal tidak tersusun dari bagian-bagian (basithah).
Selanjutnya pembahasan tentang fakultas jiwa.
Ada tiga pembagian fakultas jiwa, yakni; Pertama, jiwa nabati yaitu
fakultas yang bereproduksi, tumbuh, dan makan. Kedua, fakultas hewani yaitu
fakultas yang bisa mempersepsi hal-hal partikular dan bergerak dengan kehendak
sendiri atau bebas. Ketiga, fakultas insani yaitu fakultas yang memunculkan
tindakan-tindakan yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan kesimpulan
pikiran dan yang mempersepsi hal-hal yang universal.
Adapun fakultas jiwa yang berhubungan dengan
sumber kebaikan dan keburukan itu berkaitan dengan akal praktis yang harus bisa
mengontrol dan mendominasi fakultas hewani agar terciptanya kesempurnaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution, Muhammad Yasir. 2002. Manusia
Menurut al-Ghazali. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Najati, Muhammad Utsman. 2002. Jiwa Dalam
Pandangan Para Filosof Muslim. Bandung. Pustaka Hidayah
Hatta, Mohammad. 1986. Alam Pikiran Yunani.
UIP.
Yazdi, Mehdi Heiri. 2003. Epistemologis
iluminasionis: Menghadirkan Cahaya Tuhan. Bandung. Mizan
Al-Ghazali.2005. Ihya
Ulumuddin (jilid 7) . Bandung. Pustaka Hidayah
Al-Ghazali.2003. Kerancuan Filsafat (Tahaful
al-Falasifah). Yogyakarta. Islamika.
Ibnu Sina. 2009. Psikologi Ibnu Sina. Bandung.
Pustaka Hidayah
[1] Dalam
hal ini yang dimaksud hekekat adalah esensi. Al-jurjuni mendefinisikannya
sebagai “yang menyebabkan sesuatu menjadi diirnya”. Ibnu Sina juga mmbuat
definisi yang tidak berbeda, yakni “ kekhususan eksistensi sesuatu yang
mneyebabkan ada karenanya. Dr. Muhammad Yasir Nasution. 2002.“Manusia
mneurut al-Ghazali”. PT. Raja Grafindo Persada. Hal 71
[2] Dr.
Muhammad Utsman Najati. 2002 “ Jiwa dalam pandnagan para filosof
muslim”.Pustaka hidayah. Hal 209
[3] Dalam
teori hylomorphis Aristoteles, badan manusia adalah barang, materi (hylo),
sedangkan hidup dan jiwanya adalah bentuk (form), sedangkan pikirannya adalah
bentuk daria pada jiwanya, jadi bentuk daripada bentuk. Mohammad Hatta.
1986.Alam Pikiran Yunani. UIP. hal 127
[4] Dalam
catatan kaki, berkaitan denagn hylomorphis, Hussein Heriyanto
memberikan keterngan bahwa salah satu problem yang muncul dari penerapan
doktrin hyloimorphis pada relasi jiwa dan tubuh adalah masalah keabadian jiwa.
Karena menyatunya jiwa dan badan sebaagi subsatnsi manusia, sebaagiamana
menyatunya bentuk dan metri pada subsatnsi-substansi lain. Pandangan ini
tentu saja bertentangan dnegan keyakinan umat beragama yang percaya pada
keabadian jiwa. Akan tetapi Aristoteles dalam buku III De Anima menyebut
adanaya Akal Aktif yang abadi karena terpisah dnegan akal manusia. menurutnya
akal aktif tikda ikut binasa bersama kematian tubuh,sebagaimana yang
dialami akal pasif. Nah, adnaya akal aktif inlha yang memberi ruang agi filosof
muslim seperti al-Farabi, ibn Sina, dan ibn Rusyd untuk menafsirkan sebagai
kemungkinan keabadian jiwa manusia. tetapi penafsiran mereka berbeda satu sama
lain, terutama antara ibn Sina dan ibn Rusyd. Mehdi Heiri Yazdi. 2003Epistemologis
iluminasionis: Menghadirkan Cahaya Tuhan”.Bandung.Mizan. hal 57
[5] Dr.
Muhammad Yasir Nasution. 2002.“ Manusia Menurut al-Ghazali” . Jakarta. PT.Raja
Grafindo Persada. hal 71-88
[6] Imam
Ghazali.2005. “ Ihya Ulumuddin” jilid 7 . Pustaka hal.6-9
[7] Muradha
Mutahahhari .2002 “ Manusia dan Alam Semesta” . lentera. hal 2-5
Comments