Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Ikhtilafuhum rohmah”, perbedaan ulama (dalam masalah fiqih) adalah rahmat. Beliau mengatakan hal ini dalam kitab beliau Lum’atul I’tiqod.
Perbedaan itu rahmat bisa jadi benar jika ditinjau dari sisi usaha keras para ulama dalam berijtihad sehingga muncullah berbagai macam pendapat yang ada. Dari sisi ini kita dapat katakan bahwa perbedaan pendapat kala itu adalah rahmat. Jadi tinjauan yang benar ini dilihat dari sisi usaha keras para ulama yang melakukan ijtihad.
Namun jika yang dimaksud perbedaan adalah rahmat ditinjau dari sisi umat yang mengikuti berbagai macam pendapat, bisa jadi keliru. Ada yang ikut pendapat ulama A, Syaikh B, kyai C, dst, padahal ada di antara pendapat-pendapat tersebut yang jelas bertentangan dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sisi inilah dapat kita katakan tidak tepatnya mengatakan bahwa perbedaan itu rahmat. Tinjauannya adalah dari sisi umat yang ikut berbagai ragam pendapat. Karena beragam pendapat di tengah umat seperti itu membuat umat terpecah belah. Maka jelas perbeadaan saat itu bukanlah rahmat.
Jadi perkataan perbedaan itu rahmat dapat ditafsirkan benar dan keliru. Bisa saja perkataan tersebut disalah tafsirkan dan bisa jadi pemahamannya benar.
http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3436-perbedaan-itu-rahmat.html
Menurut buku “FIQH AL-IKHTILAF: NU-Muhammadiyah” tulisan M. Yusuf Amin Nugroho:
Kita tahu, sebenarnya perbedaan pendapat dalam masalah fiqih bukan lagi masalah
baru, melainkan sudah ada sejak Rasulullah Saw. wafat. Perbedaan masalah fiqih terus
berkembang seiring dengan berkembangnya zaman dan timbulnya masalah-masalah baru
dalam kehidupan. Pasca Rasulullah wafat mulai timbul perbedaan pendapat yang kemudian
melahirkan madzhab-madzhab, yang di antara madzhab-madzhab itu saling berdebat, dan
dari perdebatan mereka yang tidak mungkin menemukan kesepakatan karena masing-masing
memiliki dasar sendiri-sendiri yang kemudian menimbulkan perselisihan, dan dari
perselisihan itu berlanjut menjadi perang dingin, atau bahkan menyebabkan terjadinya
benturan secara fisik maupun pertikaian politis.
Itulah fenomena di dunia Islam. Sebagian dari kita bukan tidak tahu sabda Rasulullah,
bahwa “perbedaan adalah rahmat.” Perbedaan adalah hal yang sangat niscaya, sesuatu yang
tidak bisa dihindarkan. Lebih-lebih dalam masalah fiqih, yang mana dasar utamanya al-
Qur’an dan Sunnah. Sementara cara pengambilan hukum (istimbath) Fuqaha satu dengan
yang lainnya terkadang terdapat perbedaan. Belum lagi kalau kita berbicara masalah kondisi
dan situasi (sosial dan politik) di mana hukum Islam tersebut ditetapkan, ayat-ayat al-Qur’an
dan hadist apa yang dijadikan dasar. Sungguh kian terang keyakinan kita akan niscayanya sebuah perbedaan. Karena itu, fiqih sebenarnya tidak kaku dan saklek, melainkan lentur,
sangat fleksibel.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum: 22)
Ikhtilaf dalam masalah furu‟ adalah boleh. Rasulullah SAW telah
bersabda: ‖Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, maka
janganlah kamu melanggarnya, telah mewajibkan sejumlah kewajiban, maka janganlah
kamu abaikan, telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kamu melanggarnya,
telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi kamu – bukan karena lupa –
maka janganlah kamu mencari (kesulitan) di dalamnya.‖ (HR Imam Daruquthni)
Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu‘adz bin Jabal sebagai gubernur
Yaman, beliau bertanya kepada Muadz, “Bagaimana kamu akan memutuskan
perkara yang dibawa ke hadapanmu?‖ Muadz menjawab: ―Saya putuskan
berdasarkan Kitabullah.‖ Rasulullah bertanya lagi: ―Apabila kamu tidak
mendapatkannya dalam Kitabullah?‖ Muadz menjawab: ‖Saya putuskan
berdasarkan sunnah Rasul.‖ Rasulullah bertanya lagi: ―Apabila kamu tidak
mendapatkannya dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya?‖ Muadz menjawab:
―Maka saya akan berijtihad (ra‟yi) dan saya tidak akan ragu sedikit pun.‖
Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke dada Muadz dan bersabda:
―Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuatu
yang menyenangkan hati Rasulul-Nya.‖ (HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud).
http://duniadownload.com/agama-religi/fiqh-al-ikhtilaf-nu-muhammadiyah.html
Kajian
:
Bahwasanya kedua pendapat di atas sama tepatnya. Hanya konteksnya perlu diperjelas. Buku “FIQH AL-IKHTILAF: NU-Muhammadiyah” tulisan M. Yusuf Amin Nugroho menulis dan mengupas dengan sangat baik. Pada hal apa perbedaan itu diperbolehkan dan pada hal apa perbedaan pendapat itu tidak diperbolehkan. Yang terpenting, perbedaan pendapat harus dijadikan dasar pengayaan ilmu, "Oh, untung ada yang berbeda sehingga ada yang mengingatkan". Bagaimana seandainya semua manusia sama seperti diri kita? Maka kita akan stagnan dan tanpa perbaikan.
Carilah kebenaran hakiki tanpa pemaksaan dan perpecahan, tunjukkan bahwa islam adalah rahmatan lil alamin. Kita berusaha, berikhtiar, hasilnya kita serahkan Allah SWT. Allah yang akan menyelesaikan masalah tersebut saat ikhtiar kita sudah maksimal. Jangan saling menyalahkan, jangan saling menghujat. Islam artinya selamat, selamat untuk diri kita juga selamat untuk musuh2 kita.
Apakah pernah mendengar Rasulullah berdakwah dengan nada tinggi? Sedangkan nenek2 kafir saja disuapi dengan lemah lembut meskipun nenek tersebut selalu menghujat beliau. lalu, apa hak kita menggunakan kekerasan? Apakah kita sudah lebih baik dari Rasulullah?
Rasulullah berperang karena lebih dulu diperangi. Apabila tidak melawan, maka Islam akan hancur. Lalu, bagaimana Islam saat ini diperangi? Dengan ilmu ekonomi, dengan tekhnologi....maka, balaslah yang serupa. Tidak relevan lagi jika membalas secara fisik. Justru memperlihatkan islam yang jahil. Jangan sampai kita menjadi muslim yang dimurkai Allah. Amin
Perbedaan itu rahmat bisa jadi benar jika ditinjau dari sisi usaha keras para ulama dalam berijtihad sehingga muncullah berbagai macam pendapat yang ada. Dari sisi ini kita dapat katakan bahwa perbedaan pendapat kala itu adalah rahmat. Jadi tinjauan yang benar ini dilihat dari sisi usaha keras para ulama yang melakukan ijtihad.
Namun jika yang dimaksud perbedaan adalah rahmat ditinjau dari sisi umat yang mengikuti berbagai macam pendapat, bisa jadi keliru. Ada yang ikut pendapat ulama A, Syaikh B, kyai C, dst, padahal ada di antara pendapat-pendapat tersebut yang jelas bertentangan dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sisi inilah dapat kita katakan tidak tepatnya mengatakan bahwa perbedaan itu rahmat. Tinjauannya adalah dari sisi umat yang ikut berbagai ragam pendapat. Karena beragam pendapat di tengah umat seperti itu membuat umat terpecah belah. Maka jelas perbeadaan saat itu bukanlah rahmat.
Jadi perkataan perbedaan itu rahmat dapat ditafsirkan benar dan keliru. Bisa saja perkataan tersebut disalah tafsirkan dan bisa jadi pemahamannya benar.
http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3436-perbedaan-itu-rahmat.html
Menurut buku “FIQH AL-IKHTILAF: NU-Muhammadiyah” tulisan M. Yusuf Amin Nugroho:
Kita tahu, sebenarnya perbedaan pendapat dalam masalah fiqih bukan lagi masalah
baru, melainkan sudah ada sejak Rasulullah Saw. wafat. Perbedaan masalah fiqih terus
berkembang seiring dengan berkembangnya zaman dan timbulnya masalah-masalah baru
dalam kehidupan. Pasca Rasulullah wafat mulai timbul perbedaan pendapat yang kemudian
melahirkan madzhab-madzhab, yang di antara madzhab-madzhab itu saling berdebat, dan
dari perdebatan mereka yang tidak mungkin menemukan kesepakatan karena masing-masing
memiliki dasar sendiri-sendiri yang kemudian menimbulkan perselisihan, dan dari
perselisihan itu berlanjut menjadi perang dingin, atau bahkan menyebabkan terjadinya
benturan secara fisik maupun pertikaian politis.
Itulah fenomena di dunia Islam. Sebagian dari kita bukan tidak tahu sabda Rasulullah,
bahwa “perbedaan adalah rahmat.” Perbedaan adalah hal yang sangat niscaya, sesuatu yang
tidak bisa dihindarkan. Lebih-lebih dalam masalah fiqih, yang mana dasar utamanya al-
Qur’an dan Sunnah. Sementara cara pengambilan hukum (istimbath) Fuqaha satu dengan
yang lainnya terkadang terdapat perbedaan. Belum lagi kalau kita berbicara masalah kondisi
dan situasi (sosial dan politik) di mana hukum Islam tersebut ditetapkan, ayat-ayat al-Qur’an
dan hadist apa yang dijadikan dasar. Sungguh kian terang keyakinan kita akan niscayanya sebuah perbedaan. Karena itu, fiqih sebenarnya tidak kaku dan saklek, melainkan lentur,
sangat fleksibel.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum: 22)
Ikhtilaf dalam masalah furu‟ adalah boleh. Rasulullah SAW telah
bersabda: ‖Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, maka
janganlah kamu melanggarnya, telah mewajibkan sejumlah kewajiban, maka janganlah
kamu abaikan, telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kamu melanggarnya,
telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi kamu – bukan karena lupa –
maka janganlah kamu mencari (kesulitan) di dalamnya.‖ (HR Imam Daruquthni)
Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu‘adz bin Jabal sebagai gubernur
Yaman, beliau bertanya kepada Muadz, “Bagaimana kamu akan memutuskan
perkara yang dibawa ke hadapanmu?‖ Muadz menjawab: ―Saya putuskan
berdasarkan Kitabullah.‖ Rasulullah bertanya lagi: ―Apabila kamu tidak
mendapatkannya dalam Kitabullah?‖ Muadz menjawab: ‖Saya putuskan
berdasarkan sunnah Rasul.‖ Rasulullah bertanya lagi: ―Apabila kamu tidak
mendapatkannya dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya?‖ Muadz menjawab:
―Maka saya akan berijtihad (ra‟yi) dan saya tidak akan ragu sedikit pun.‖
Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke dada Muadz dan bersabda:
―Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuatu
yang menyenangkan hati Rasulul-Nya.‖ (HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud).
http://duniadownload.com/agama-religi/fiqh-al-ikhtilaf-nu-muhammadiyah.html
Kajian
:
Bahwasanya kedua pendapat di atas sama tepatnya. Hanya konteksnya perlu diperjelas. Buku “FIQH AL-IKHTILAF: NU-Muhammadiyah” tulisan M. Yusuf Amin Nugroho menulis dan mengupas dengan sangat baik. Pada hal apa perbedaan itu diperbolehkan dan pada hal apa perbedaan pendapat itu tidak diperbolehkan. Yang terpenting, perbedaan pendapat harus dijadikan dasar pengayaan ilmu, "Oh, untung ada yang berbeda sehingga ada yang mengingatkan". Bagaimana seandainya semua manusia sama seperti diri kita? Maka kita akan stagnan dan tanpa perbaikan.
Carilah kebenaran hakiki tanpa pemaksaan dan perpecahan, tunjukkan bahwa islam adalah rahmatan lil alamin. Kita berusaha, berikhtiar, hasilnya kita serahkan Allah SWT. Allah yang akan menyelesaikan masalah tersebut saat ikhtiar kita sudah maksimal. Jangan saling menyalahkan, jangan saling menghujat. Islam artinya selamat, selamat untuk diri kita juga selamat untuk musuh2 kita.
Apakah pernah mendengar Rasulullah berdakwah dengan nada tinggi? Sedangkan nenek2 kafir saja disuapi dengan lemah lembut meskipun nenek tersebut selalu menghujat beliau. lalu, apa hak kita menggunakan kekerasan? Apakah kita sudah lebih baik dari Rasulullah?
Rasulullah berperang karena lebih dulu diperangi. Apabila tidak melawan, maka Islam akan hancur. Lalu, bagaimana Islam saat ini diperangi? Dengan ilmu ekonomi, dengan tekhnologi....maka, balaslah yang serupa. Tidak relevan lagi jika membalas secara fisik. Justru memperlihatkan islam yang jahil. Jangan sampai kita menjadi muslim yang dimurkai Allah. Amin
Comments